Postingan

Yang Seharusnya

Ulat. Apa yang terlintas di kepalamu saat mendengar kata itu? Mungkin hama, tukang makan, perusak tanaman. Tapi aku punya pembelaan. Entah ini benar atau tidak, tapi jika kita membiarkan alam bekerja dengan sendirinya, ulat hanya salah satu bagiam dari rantai makanan. Dan semuanya selalu seimbang dengan alam. Di alam liar, ekosistem akan selalu menyeimbangkan dirinya sendiri, dan rantai makanan adalah hal yang sangat rapuh. Jika sesuatu terjadi pada salah satu dari bagian rantai itu, maka ekosistem itu akan runtuh secara perlahan. Lalu, apa hubungannya dengan ulat? Jika kita melihat rantai makanan, rantai sederhana yang kita dapat adalah: tumbuhan-> ulat-> burung Jika ulat menghilang, maka burung juga akan hilang. Sedangkan tumbuhan yang dihinggapi ulat juga butuh kupu-kupu untuk penyerbukan. Pembelaanku adalah, jika ada ulat di tamanmu, memang sudah seharusnya ada ulat disana. Tamanmu akan hidup jika rantai makanan itu ada. Dan aku tidak bicara soal agrikultur. Itu bahasan lain.

Sepi (Tapi Tidak Juga)

Apa yang kamu lakukan ketika tidak ada kegiatan? Waktu lebaran seperti ini biasanya seisi rumah pergi mengunjungi sanak keluarga. Dan biasanya aku tidak ikut karena beberapa alasan. Disaat itu aku bisa sedikit lebih bebas di rumah. Bisa diam saja di rumah menonton film dan bolak-balik menggeser layar hp, Atau... bereksperimen di dapur dengan bahan-bahan seadanya. Kali ini, aku membuat minyak bawang. Bahan utamanya hanya 2: Minyak dan bawang putih. Aku hanya mencincang bawang putih sampai cukup halus, masukkan ke minyak goreng, dan masak dengan api (sangat) kecil sampai warnanya berubah kuning kecoklatan. matikan kompor dan tunggu sampai dingin kemudian masukkan ke dalam wadah untuk disimpan di dalam kulkas. Itu saja. Bisa juga ditambahkan garam selagi memasak. Sedikit saja sekadar menambahkan rasa gurih. Setelah aku coba, ternyata minyak bawang yang aku buat rasanya lumayan untuk percobaan pertama. Mungkin minyak ini lebih cocok untuk campuran masakan yang rasanya sederhana. Seperti te

Bagaimana Kabarmu?

Hai, lama tak berjumpa. Lelah sekali rasanya beberapa tahun terakhir ini. Sejak pandemi semua berubah drastis. Semua yang mudah dan dipenuhi kebahagiaan, mulai berubah menjadi kesulitan dan berat hati. Sering kali aku hanya bisa diam dan memandangi langit-langit kamarku. Kenyataan memukulku keras sekali. Dulu aku kira menjadi dewasa itu menyenangkan. Ternyata tidak juga. Menjadi anak kecil dengan segala keterbatasan pengetahuan akan kehidupan nyata adalah berkah. Tidak sekalipun pernah kulihat anak yang normal termenung memikirkan kehidupan. Mereka bahagia tanpa alasan. Aku tidak bilang kalau aku depresi. Hanya saja belakangan ini aku mulai sedikit tertawa. Sulit rasanya untuk tertawa dengan banyak hal yang mempersulit keadaan yang sudah sulit.  Juga, aku sangat sering kehilangan semangat. Tidak lagi aku sangat bersemangat akan hal-hal yang dulu jadi obsesiku. Bahkan sebaliknya, aku hanya ingin diam menikmati kesunyian dan menatapi langit malam yang cerah. Tapi aku jalani semuanya sebi

Anomali

Gambar
Pagi hari ditemani playlist  lofi , langit temaram. Suasana paling nyaman yang aku rasakan. Ditambah kosongnya hari, sempurna. Menjadi latar untuk mengingat kembali waktu-waktu yang lebih baik. Masa-masa di mana waktu lebih lambat. Tak terbesit sedikitpun di pikiran tentang kulit berkerut dan tenaga yang terkuras. Ketika dunia terbuka di depan mata, dan aku berjalan diatasnya sebagai kanvas kosong. Ketika aku sibuk berlarian ke sana kemari. Kini, hari-hari melelahkan. Meskipun aku hanya merebah sepanjang hari, pikiranku yang membuatku lelah. Rutinitas yang nyaris serupa. Momen yang tidak umum akan terasa menyenangkan. Melepaskan diri dari bisingnya siang. Dan membiarkan diri tenggelam dalam ketenangan. Sesekali menjalani sesuatu yang berbeda tidak akan menyakitiku, kurasa.

"Nikmati saja."

Menurunkan harapan untuk hal-hal yang dianggap penting itu perlu. Aku kembali diingatkan akan hal itu setelah tim sepak bola kesayanganku semakin kecil peluangnya untuk jadi juara musim ini. Sebenarnya ini memang tidak terlalu penting, sih. Jadi juara ataupun tidak, mereka tidak kenal aku. Jadi apa untungnya buat mereka kalau tahu aku mendukung mereka? Ini hanya sebuah simbiosis komensalisme. Oke, kembali ke topik. Harapan membuat manusia tegerak. Dalam konteks ini, manusia akan melakukan banyak hal agar harapan mereka bisa tercapai. Sampai sering kali lupa untuk menikmati proses. Saat masih sekolah dulu, aku punya cita-cita jadi astrophysicist . Katakanlah seperti Neil deGrasse Tyson. — Walaupun dulu aku belum tahu siapa dia. Sekarang, aku punya angan-angan untuk menjadi penulis novel. Salah satu alasan aku membuat blog ini adalah untuk membiasakan diriku untuk menulis. Tapi sering kali aku sangat terpaku untuk menyelesaikan cerita yang aku tulis tanpa menikmati proses menulis itu sen

Kembali Berkelana, dan Sebaliknya

Gambar
Hmm... dia di sini, Tapi entah kemana Rasanya aneh Atau mungkin, Dia memang jauh Ia hadir, Tapi hatinya berkelana Mungkin sudah waktunya Bergerak mengikuti arah hati Ah, sebaiknya ku biarkan saja Mungkin ia mencari rumah baru Jika memang ia tak menemukannya Kelak ia akan kembali Ke tempat yang akan selalu menjadi rumah

Seperti Waktu, Semuanya Berlalu

Kemarin, sepertinya aku melihat dia. Aku sendiri tidak yakin. Seorang yang dulu pernah aku cintai. Berdiri, Ia menjatuhkan pandangannya ke segala arah. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Bisa saja ojek online yang ia pesan, atau dia yang meminangnya saat pernikahan. Bagaimanapun, Ia terlihat indah dengan segala sesuatu yang ada dalam dirinya. Ya, dia bukanlah milikku. Tapi setiap melihatnya, hati ini terasa gerah. Aku hanya bisa mengagumi dari kejauhan. Bukan jarak, tapi jurang pemisah yang semu. Dia milik orang lain. Orang-orang bilang bahwa tingkatan tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Itu mudah. Yang lebih dalam bagiku adalah ikut bahagia ketika melihat mereka yang berarti bagiku bahagia. Dan aku bahagia. Sama seperti mereka.